Rabu, 03 Juni 2020

Memaknai Hijrah Sebagai Proses Transformasi


Kajian SALAM ke-15

Memaknai Hijrah Sebagai Proses Transformasi[1]

Musdah Mulia[2]


Akhir-akhir ini makna dan istilah hirah mengalami penyimpangan yang luar biasa. Bahkan makna hijrah cenderung menjadi komodifikasi agama. Hijrah dimaknai dengan memakai jilbab panjang, saking panjangnya sampai menutup mata kaki dan menyapu debu jalanan yang bertaburan najis. Hijrah dimaknai dengan penggunaan gamis dan celana cingkrang, membeli rumah di perumahan Syariah dan seterusnya yang semua berujung pada upaya menarik orang untuk berbelanja dan membeli sesuatu yang berlabel syar’i. Tidak heran, jika kemudian bisnis busana muslim menjadi market yang sangat menggiurkan para pendukung kapitalisme, baik lokal maupun internasional.

Hijrah oleh kaum fundamentalisme digunakan untuk menyatakan sikap dan prilaku yang berubah ke arah konservatisme. Misalnya, mereka yang semula tidak menutup kepala lalu mendadak berhijab atau bahkan bercadar. Ketika ditanya, jawabnya sudah hijrah!. Mereka para lelaki yang tadinya tidak mengenal agama, tiba-tiba rajin ke pengajian dan busananya berubah menjadi cingkrang dan berbaju ala Pakistan, lalu memaksakan diri berjenggot meski tumbuh hanya beberapa helai rambut, alasannya karena hijrah. Karena hijrah, mendadak teman saya berhenti dari pekerjaannya sebagai karyawan Bank Swasta dan sudah hidup mapan. Lalu memilih bekerja sebagai driver on-line yang akhirnya terpaksa menelantarkan hidup anak-anaknya demi hijrah. Bahkan, lebih parah lagi, beberapa mahasiswa saya memilih meninggalkan rumah orang tua mereka demi hijrah dan kemudian memilih hidup bersama kelompoknya yang seiman. Apakah demikian makna hijrah? 

Istilah hijrah dalam tradisi Arab mulanya dipakai untuk pengertian meninggalkan suatu negeri yang tidak aman menuju negeri lain yang menjanjikan keselamatan dan kenyamanan, khususnya dalam menjalankan ajaran agama. Dalam konteks Islam, meskipun secara fisik peristiwa hijrah dikaitkan dengan aktivitas Nabi saw dan para sahabat, namun bagi umat Islam masa kini tetap terbuka kesempatan melakukan hijrah. Hijrah secara luas bermakna upaya-upaya transformasi dan rekonstruksi diri dan masyarakat menuju peningkatan kualitas hidup yang lebih beradab, lebih beriman dan lebih manusiawi.

Ragib Al-Isfahani (w. 502 H/1108 M), pakar leksikografi Al-Qur'an berpendapat, istilah hijrah mengacu pada tiga pengertian. Pertama, meninggalkan negeri dimana penduduknya sangat tidak bersahabat menuju negeri yang aman dan damai. Kedua, meninggalkan syahwat, akhlak buruk dan dosa-dosa menuju kebaikan dan kemaslahatan (QS. al-Ankabut, 29:26). Ketiga, meninggalkan semua bentuk kemaksiatan, narsisme dan hedonisme menuju kesadaran kemanusiaan dengan cara mujahadah an nafs (mengontrol hawa nafsu). Sungguh tepat hadist Nabi: "Orang yang berhijrah ialah orang yang meninggalkan segala yang dibenci Allah" (Riwayat Bukhari).

Sejumlah ayat Al-Qur’an secara tegas memotivasi orang-orang beriman agar berjuang dan berusaha meningkatkan kualitas hidup, kalau perlu berpindah lokasi mencari tempat kehidupan yang lebih baik, lebih kondusif, jangan terpaku hanya pada satu tempat saja. Perspektif ini mengesankan Islam sangat mengapresiasi perkembangan global yang ditandai tingginya dinamika dan mobilitas penduduk. Islam menghendaki umat yang dinamis dan progres, bukan umat yang terbelakang dan terkungkung, apalagi statis, apatis, pasif dan pasrah menerima nasib.

Pesan penting hijrah adalah umat Islam harus berani dan mampu melakukan transformasi diri ke arah yang lebih positif dan konstruktif sehingga menjadi umat yang rahmatan lil alamin. Umat yang selalu membawa manfaat bagi semua makhluk di alam semesta, bukan membawa bencana dan berbagai kondisi destruktif.

Khalifah Umar bin Khattab adalah figur yang amat berjasa dalam penetapan awal tahun hijriyah atau penanggalan tahun hijrah. Penanggalan tersebut tidak dibuat berdasarkan hari lahir Nabi Muhammad saw, bukan pula hari wafat beliau, melainkan pada suatu peristiwa bersejarah yakni hijrah beliau dari Mekah ke Madinah (waktu itu bernama: Yasrib). Peristiwa itu terjadi pada tanggal 2 Juli 622 M  bertepatan dengan 12 Rabiul Awal.

Hijrah ke Madinah meski bukanlah hijrah pertama bagi umat Islam -sebelumnya sekelompok Muslim melakukan hijrah ke Habasyah (Ethiopia)- namun peristiwa tersebut merupakan tonggak sejarah yang sangat strategis. Ia merupakan awal dari babak baru perjuangan Nabi saw. Masa kenabian bisa dibagi atas dua babak: masa Mekah dan masa Madinah. Pada masa Mekah, Nabi mengadakan revolusi aqidah atau revolusi mental. Kemusyrikan diganti dengan tauhid. Dengan tauhid manusia menentukan pilihan, Tuhanlah yang menjadi objek kecintaan dan pengabdian, bukan manusia apalagi materi. Tiga belas tahun lamanya Nabi berdakwah dan berjuang di Mekah menghadapi masa-masa berat penuh ancaman dan penderitaan.

Hijrah ke Madinah merupakan momentum perubahan dan pembebasan umat Islam dari semua belenggu diskriminasi dan kezaliman. Orang-orang Muslim yang berhijrah dari Mekah disebut Muhajirin, sedangkan penduduk Muslim Madinah yang menolong mereka dinamakan Anshar (kaum penolong). Hijrah Rasul ke Madinah bersama sahabatnya (laki dan perempuan) membawa perubahan signifikan dalam sejarah Islam. Ketika di Mekkah umat Islam teraniaya, tertindas, diboikot, berada di bawah kuasa politik kaum musyrik Quraisy. Sebaliknya, di Madinah umat Islam menjadi pemegang kendali politik kekuasaan. Nabi saw diangkat menjadi kepala negara dengan masyarakat yang heterogen: umat Islam yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar; penganut Yahudi dan penganut paganisme.

Kota Yasrib diganti menjadi Madinat ar-Rasul (kota Rasul), lalu disingkat dengan Madinah. Kata Madinah mengandung dalam dirinya makna peradaban. Perubahan nama tersebut mencerminkan suatu komitmen kuat dari umat Islam untuk mengubah diri menjadi umat yang beradab dengan mengedepankan nilai-nilai keadaban dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada masa Madinah, Nabi saw mengadakan reformasi jamaah, reformasi sosial, kefanatikan suku diganti dengan faham kemanusiaan yang lebih luas. Kehidupan yang tak mengenal aturan diganti dengan kehidupan bermasyarakat yang diikat oleh nilai-nilai moral dan norma-norma sosial.

Di Madinah Nabi saw mulai menata kehidupan umat yang diikat oleh ukhuwah atau tali persaudaraan. Menarik dicatat, Nabi saw bukan hanya memperkenalkan ukhuwah islamiyah (persaudaraan seiman), melainkan juga ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Melalui ikatan persaudaraan kemanusiaan tersebut, Nabi saw mengajarkan umatnya agar menghayati keragaman dan perbedaan di antara mereka sebagai rahmat Tuhan, bukan suatu ancaman apalagi bencana. 

Kondisi masyarakat Madinah yang heterogen dimana terdapat berbagai kelompok yang satu sama lain berbeda keyakinan hidupnya, berbeda kepentingannya, berbeda cita-citanya, namun semuanya dipersatukan oleh ikatan kemanusiaan, sama-sama makhluk Tuhan. Melalui peristiwa hijrah, Nabi saw memberi teladan bagaimana membina masyaraka yang sangat majemuk, yang berbeda agamanya, Islam, Yahudi dan bahkan kaum musyrik, dan juga berbeda kebangsaannya, Arab dan Yahudi. Mereka dibebani tanggung jawab yang sama, memelihara keamanan dan ketertiban bersama. Mereka diberi hak yang sama, mendapatkan kesempatan dan jaminan yang sama. Satu sama lain tidak mendominasi, satu sama lain tidak memaksakan kehendaknya.

Untuk konteks Indonesia, dengan spirit hijrah umat Islam mestinya mampu memberikan contoh teladan (uswatun hasanah) dalam mengikis semua bentuk ketidakadilan, ketimpangan social, intoleransi, radikalisme dan terorisme yang menghancurkan peradaban manusia. Demikian pula, umat Islam harus berjuang paling depan dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme dan semua praktek oligarki politik yang menjijikkan. Umat Islam harus menjadi pionir dalam berbagai upaya eliminasi semua bentuk perilaku diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan berbasis apa pun. Terakhir, tapi tidak kurang pentingnya adalah umat Islam harus menjadi terdepan dalam upaya-upaya peningkatan sains dan teknologi demi kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia.






[1] Disampaikan pada Kajian SALAM ke 15 di Kantor ICRP, Jakarta, 22 Des 2020.
[2] Ketua Yayasan Indonesian Conference on Religions for Peace

Stop Perkawinan Anak !!!


Stop Perkawinan Anak !!!

Musdah Mulia

Perkawinan anak adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang yang belum dewasa atau di bawah usia 18 tahun. Dalam masyarakat umumnya yang terjadi adalah perkawinan anak perempuan dengan laki-laki dewasa, bahkan kebanyakan adalah laki-laki yang sudah berumur sehingga lebih pantas menjadi kakek daripada menjadi suami anak tersebut.
Ketentuan internasional dan juga secara nasional menyebutkan bahwa batasan usia anak adalah 18 tahun. Seseorang yang berusia 18 tahun ke bawah masuk dalam kategori anak. Sejumlah peraturan dan perundang-undangan telah lahir, baik di tingkat nasional maupun internasional, menekankan perlunya proteksi dan penguatan hak-hak anak. Semuanya demi kemaslahatan anak dan mencegah terjadinya eksploitasi terhadap anak-anak, terutama anak-anak perempuan melalui modus operandi perkawinan.

Sejumlah faktor memengaruhi terjadinya perkawinan anak. Di antaranya, ketimpangan gender, kurangnya pendidikan, kemiskinan, aneka norma dan keyakinan bias gender. Ketimpangan gender yang dibahas di sini sebagian besar terkait dengan tafsir budaya tentang maskulinitas dan feminitas, perkawinan, usia dan seksualitas. Selain penyebab tersebut, faktor lain yang juga turut bermain yaitu akses ke berbagai pelayanan seperti pelayanan kesehatan (termasuk kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi), kurangnya pengetahuan tentang risiko kesehatan pada kehamilan dini dan bagaimana menangani kesehatan si ibu setelah melahirkan beserta bayinya.
Faktor lain adalah konflik dan migrasi. Ada semakin banyak bukti menyangkut praktik perkawinan anak di wilayah pasca-konflik atau di tengah komunitas pengungsi di seluruh dunia. Perubahan yang terjadi ini juga sangat kasatmata di Indonesia sendiri. Industrialisasi pedesaan dan di bidang pertanian (misalnya perkebunan kelapa sawit) mengubah hubungan kerja antara lelaki dan perempuan. Para orangtua bermigrasi untuk mencari kerja di kota, di sektor informal, di luar negeri, dan anak perempuan mereka akhirnya menikah muda.

Sejumlah penelitian menyimpulkan, perkawinan anak adalah sumber dari pelbagai masalah sosial di masyarakat. Paling tidak dijumpai lima dampak buruk perkawinan anak.
Pertama, perkawinan anak merupakan penyebab dari tingginya angka perceraian di masyarakat. Bagaimana anak-anak itu akan bertanggung jawab dalam perkawinan, mereka masih anak-anak, belum matang dan dewasa, baik fisik, mental, dan spiritualnya sehingga dalam banyak hal belum mampu menjalankan tanggung jawab sebagai suami-isteri atau sebagai anggota keluarga.
Kedua, perkawinan anak membawa kepada kemiskinan, pengangguran dan putus sekolah. Perkawinan menyebabkan terjadinya drop out sekolah, lahirnya bayi stunting dan malnutrisi. Kesemua ini menjadikan rendahnya kualitas SDM. Kondisi buruknya kualitas hidup bangsa terlihat jelas pada sejumlah indeks yang ada.  
Ketiga, perkawinan anak membawa kepada kekerasan rumah tangga (KDRT). Mengapa ini terjadi? Sebab, usia mereka masih sangat muda, penuh emosi sehingga gampang meledak, tidak berfikir panjang dan belum matang secara mental dan spiritual. KDRT banyak membawa dampak buruk dalam kehidupan perempuan, terutama terkait dengan kesehatan reproduksi mereka.
Keempat, perkawinan anak membawa kepada berbagai problem sosial seperti narkoba, HIV/Aids, aborsi, pelacuran, dan trafficking. Maraknya penjualan (trafficking) anak, khususnya anak perempuan melalui modus operandi perkawinan adalah sebuah fakta yang tidak dapat diingkari. Kekerasan seksual dan penyakit kelamin lain yang dapat menular melalui hubungan seks, termasuk HIV/AIDS, membawa pengaruh yang dapat merusak kesehatan anak-anak, dan anak perempuan lebih rentan dibanding anak laki-laki terhadap akibat-akibat hubungan seksual yang tidak aman dan yang berlangsung pada usia terlalu dini.
Kelima, perkawinan anak membawa kepada berbagai problem kesehatan reproduksi. Tingginya AKI (angka kematian ibu melahirkan) disebabkan terutama oleh kehamilan di usia sangat muda, terlalu sering hamil, dan ketidakmatangan fungsi-fungsi reproduksi secara biologis dan psikologis;  dan rendahnya tingkat kualitas hidup perempuan di bidang kesehatan. Kehamilan di usia anak sangat beresiko karena organ-organ reproduksi perempuan belum siap melakukan fungsinya secara optimal. Melahirkan pada usia muda tetap merupakan persoalan besar dalam meningkatkan kedudukan perempuan di bidang pendidikan, ekonomi dan sosial di berbagai penjuru dunia.
Selain itu, perkawinan anak juga menghambat keberhasilan sejumlah agenda pemerintah, seperti kesehatan reproduksi, pendidikan dan kemiskinan. Program pemerintah yang terkait dengan perkawinan anak mencakup: Program Keluarga Berencana (KB) dan Generasi Berencana (Genre) oleh BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional). Program Pelaksanaan 12 tahun wajib belajar. Program pengentasan kemiskinan melalui kredit mikro UKM (usaha kecil dan menengah) untuk keluarga miskin, dan Program Pengarusutamaan Gender (Inpres No. 9/2000).
Perkawinan membutuhkan kedewasaan dan kematangan yang bukan hanya bersifat biologis, melainkan juga kematangan psikologis, sosial, mental dan spiritual. Batas minimal usia nikah bagi laki-laki dan perempuan sebaiknya 19 tahun. Perkawinan pada usia dini bagi perempuan dapat menimbulkan berbagai risiko, baik bersifat biologis seperti kerusakan organ-organ reproduksi, kehamilan muda, janin yang cacat karena kurang gizi sebab tubuh janin dan tubuh ibunya yang masih dalam tahap pertumbuhan itu  berlomba mendapatkan asupan gizi dan nutrisi. Selain itu, sang ibu pun dapat mengalami berbagai risiko psikologis berupa ketidakmampuan mengemban fungsi-fungsi reproduksi dengan baik.

Rekomendasi dan solusi
  1. Perlu reformasi peraturan dan UU, khususnya UU Perkawinan. Usia nikah dalam Undang-Undang Perkawinan harus dinaikkan menjadi minimal 19 tahun, tanpa pembedaan laki-laki dan perempuan. Wajib belajar 12 tahun harus dilaksanakan secara serius di seluruh tanah air agar anak-anak remaja kita terdorong menekuni pendidikan sebagai bekal hidup di masayarakat.

  1. Perlu upaya rekonstruksi budaya melalui pendidikan dalam arti seluasnya. Pendidikan seks yang komprehensif perlu diajarkan sejak tingkat SLTP dengan menekankan pada aspek kesehatan reproduksi serta tanggung jawab moral dan sosial. Seks bukan semata-mata soal hubungan biologis, melainkan lebih pada soal tanggungjawab (responcibility). Pendidikan seksual terpadu yang diberikan kepada para remaja perlu mendapat dukungan, bantuan dan pengarahan dari orang tua yang menekankan tentang tanggung-jawab anak laki-laki dan perempuan atas seksualitas dan kesuburan mereka sendiri. Hal itu penting karena terdapat lebih dari 15 juta anak perempuan berusia di antara 15 sampai 19 tahun melahirkan setiap tahunnya.

3.     Terakhir, perlu upaya reinterpretasi ajaran agama agar tersosialisasi ajaran agama yang lebih humanis, lebih damai dan lebih ramah terhadap anak dan perempuan. Diperlukan upaya2 serius mereinterpretasi ajaran agama yang tidak lagi relevan dengan konteks kekinian dan bertentangan dengan prinsip perlindungan anak perempuan. Misalnya, dalam Islam ada pandangan bahwa Nabi Muhammad menikahi Aisyah pada usia 7 tahun dan hidup bersama pada usia 9 tahun. Ternyata, satu-satunya hadis yang menjadi landasan teologis pandangan ini sangat lemah. Sementara, dijumpai sejumlah hadis yang lebih rasional menolak pandangan tersebut. Karena itu, mari melakukan perubahan demi masa depan bangsa dan masyarakat yang lebih baik.




Islam: Agama Cinta Lingkungan


Islam: Agama Cinta Lingkungan

Musdah Mulia


Sejumlah pakar Sosiologi Lingkungan berkesimpulan, kurang berhasilnya pembangunan lingkungan di Indonesia, antara lain disumbang oleh minimnya kajian ekologi dari perspektif teologis. Karena itu, diperlukan pengembangan kajian keagamaan, terutama kajian keislaman secara ekologis. Sudah saatnya mengedepankan kajian-kajian keislaman yang kritis dan rasional berkaitan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan.
Bagi sebagian besar umat Islam, pembahasan tentang lingkungan hidup dirasakan masih asing, jarang dibahas di berbagai pengajian dan kegiatan keislaman. Karena itu, tidak heran jika perilaku umat Islam terkait upaya menjaga kelestarian alam dan kesehatan lingkungan sangat jauh dari ideal sebagaimana diamanatkan dalam Qur’an dan Sunnah Rasul.
Umat Islam mestinya menjadi kelompok terdepan yang peduli pada upaya menjaga kelestarian alam. Mengapa? Sebab untuk melaksanakan ibadah shalat misalnya, umat Islam wajib berwudhu dengan air bersih. Umat Islam lebih membutuhkan air bersih dibandingkan umat lainnya di muka bumi ini. Umat Islam perlu menyadari bahwa mengelola dan menjaga kelestarian atau kesehatan lingkungan adalah bagian dari ibadah yang amat penting. Peduli lingkungan adalah bagian dari iman. Ke depan, umat Islam harus menjadi pionir dalam mengamalkan pola hidup bersih sehat dalam rangka menciptakan lingkungan yang sehat.
Islam sejatinya adalah agama yang vokal bicara tentang pentingnya kelestarian alam dan kesehatan lingkungan. Lingkungan adalah suatu sistem yang terpadu. Artinya, lingkungan terdiri atas berbagai komponen yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan atau suatu totalitas (Q.S. al-Hijr, 15:19-20). Lingkungan terdiri atas dua unsur penting: biotik dan abiotik. Unsur biotik (manusia, hewan, dan tumbuhan) dan abiotik (udara, air, tanah, iklim dan lainnya). Jika satu komponennya dirusak atau dieksploitasi maka bagian lain akan mengalami kerusakan yang mengganggu stabilitas seluruh komponen lainnya.
Al-Qur’an sejak awal sudah memberikan peringatan keras tentang bahayanya merusak dan mengeksploitasi alam (Q.S. Rum, 30:41).
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ 
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Ayat tersebut dan ayat-ayat lain yang senada menyimpulkan, menjaga kelestarian lingkungan berarti menjaga kelangsungan hidup manusia, hewan dan tumbuhan yang ada di planet bumi ini. Sebaliknya, merusak lingkungan berarti membunuh manusia dan semua makhluk hidup di sekitarnya. Pemeliharaan lingkungan merupakan upaya untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah kemudharatan. Dengan ungkapan lain, memelihara kelestarian lingkungan adalah bagian penting dari amar ma’ruf nahy munkar, misi penting penciptaan manusia.
Salah satu konsep Islam dalam pemanfaatan alam adalah had al-kifayah (standar kebutuhan yang layak). Artinya, dalam memanfaatkan alam, manusia perlu menggunakan standar kelayakan, yakni gunakanlah atau manfaatkanlah alam dan isinya sekedar memenuhi kebutuhan yang layak. Jangan serakah dan egois dalam memanfaatkan alam. Jangan menggunakannya di luar standar yang digariskan. Sebab, hal itu bermakna mengeksploitasi atau menzalimi alam. Misalnya, manusia membutuhkan batu bara, maka gunakanlah secukupnya sekedar memenuhi kebutuhan yang layak.
Namun, fakta realitas menunjukkan, manusia mengeksploitasi alam dengan menggali batu bara sebanyak-banyaknya. Terjadilah bencana tanah longsor, banjir dan kerusakan alam lainnya. Demikian pula dengan penggunaan lahan hutan. Karena didorong oleh sifat keserakahan dan ketamakan yang tiada batasnya, manusia merusak hutan, termasuk hutan lindung, padahal hutan berfungsi sebagai paru-paru, menjaga kesehatan lingkungan. Penggundulan hutan menimbulkan berbagai bencana berskala besar, sangat mengerikan akibatnya, terutama dirasakan oleh masyarakat dan makhluk lain yang bermukim di sekitar hutan tersebut.
Manusia adalah khalifah, penjaga kelestarian alam
Al-Quran menyatakan, manusia telah menerima amanah untuk menjadi pengelola alam setelah sebelumnya langit, bumi dan gunung-gunung telah menolak memikul tanggung jawab tersebut, sedangkan manusia menerimanya dengan sukarela (Q.S. al-Ahzab: 72). Amanah dalam ayat di atas merupakan perjanjian anatara Tuhan dan manusia. Tuhan menunjukkan kepercayaan-Nya terhadap kemampuan manusia untuk mengelola alam. Dengan demikian manusia mendapat tempat khusus sebagai khalifah fil-ardh (Q.S. al-Baqarah, 2: 30).

Al-Qur’an tegas memperingatkan manusia agar tidak membuat kerusakan terhadap alam dan lingkungan tempat mereka tinggal. Manusia adalah makhluk mulia yang diciptakan Allah swt untuk menjadi khalifah atau pemimpin yang berkewajiban mengelola bumi ini sebaik-baiknya demi kepentingan manusia dan makhluk lainnya.
Tugas untuk mengelola dan memanfaatkan hasil bumi hanya diamanahkan kepada manusia sebagai khalifah, bukan kepada tumbuhan dan hewan atau makhluk lainnya. Mengapa manusia? Karena manusialah yang dianugerahi akal dan hidayah berupa agama. Alangkah kejam dan jahatnya manusia jika mereka tidak bertanggung jawab dan bahkan mengkhianati amanah yang diberikan Tuhan kepadanya. Sebab, di tangannyalah bergantung nasib para makhluk di bumi ini. Perhatikan Q.S al-Baqarah, 2:11-12 dan 195.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ لَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ قَالُوٓاْ إِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُونَ أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلۡمُفۡسِدُونَ وَلَٰكِن لَّا يَشۡعُرُونَ 
Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan". Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.
وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ 
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Isu lingkungan adalah isu global
Kecenderungan global pengrusakan alam menjadi kegelisahan semua bangsa di planet ini. Ironisnya, pengrusakan alam berjalan seiring dengan upaya-upaya modernisasi yang seharusnya menjanjikan kehidupan manusia lebih damai dan bahagia. Isu-isu kerusakan global terkait kelestarian alam, di antaranya disebabkan oleh industrialisasi yang semakin cepat, pertumbuhan penduduk semakin padat, kekurangan gizi yang semakin parah,  sumber daya alam semakin terbatas dan tidak bisa diperbaharui, serta lingkungan hidup yang semakin rusak.
Eksploitasi manusia terhadap lingkungan disebabkan, antara lain oleh tiga faktor: populasi, konsumsi dan teknologi. Jumlah populasi manusia meningkat drastis akhir-akhir ini terutama di negara-negara berkembang yang umumnya didera kemiskinan dan kelaparan. Peningkatan populasi penduduk umumnya disertai dengan ancaman meningkatnya pengangguran dan kemiskinan, kurangnya sumber pangan, terutama air bersih, kurangnya perumahan dan tempat pemukiman yang layak dan mewabahnya penyakit menular serta meningkatnya kriminalitas.
Peningkatan jumlah penduduk yang sudah tak terkendali juga mempengaruhi volume sampah yang merupakan hasil konsentrasi penduduk. Sementara, sistem penanganan sampah masih sangat primitif sejalan dengan perilaku masyarakat yang tidak begitu peduli terhadap sampah. Kebiasaan masyarakat buang sampah sembarangan, membuang limbah industri rumah tangga ke sungai dan danau serta penggunaan air sungai yang tanpa proses pembersihan untuk keperluan rumah tangga. Semua perilaku buruk itu berdampak pada pencemaran lingkungan dan tingginya penularan penyakit. Perilaku buruk juga ditunjukkan oleh sejumlah perusahaan yang melakukan pencemaran dalam skala besar. Tentu dampaknya pun sangat meluas mempengaruhi buruknya kesehatan alam dan manusia.
Selain itu, meningkatnya populasi penduduk mendorong peningkatan konsumsi, sementara luas lahan tidak bertambah, demikian pula sumber-sumber daya alam lainnya pun semakin berkurang. Masalahnya, seringkali manusia terdorong oleh syahwatnya untuk mengkonsumsi hasil bumi sebanyak-banyaknya melebihi kebutuhan yang layak sebagai manusia. Kondisi demikian tidak jarang membawa kepada konflik, bahkan perang yang berkepanjangan memperebutkan sumber daya alam. Fatalnya, sejumlah konflik menggunakan alasan agama sebagai pembenaran.
Akibat dari perbuatan mengeksploitasi alam akan timbul bencana berupa tanah longsor, banjir, kebakaran hutan, meningkatnya suhu panas bumi, melelehnya es di kutub sehingga volume air laut meninggi drastis. Semua itu akan berdampak sangat buruk bagi kehidupan manusia di planet bumi ini. Bukan hanya mereka yang melakukan kejahatan yang akan merasakan dampaknya, melainkan orang lain yang tidak bersalah juga terkena dampaknya.
Upaya pengrusakan alam semakin masif dan tragis, di antaranya karena penggunaan teknologi canggih secara keliru. Teknologi yang awalnya diciptakan untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia, dalam realitasnya lebih banyak digunakan untuk merusak dan mengeksploitasi alam. Lihat saja bagaimana para penebang pohon menggunakan alat teknologi canggih yang dalam waktu sekejap membuat hutan menjadi gundul dan rata dengan tanah. Alat-alat canggih itu pun dalam pengoperasiannya menimbulkan dampak kerusakan lingkungan.
Upaya Rasulullah menjaga kelestarian alam
Umat Islam hendaknya sadar bahwa upaya menjaga kelestarian alam sudah diingatkan, dan bahkan sudah dilakukan oleh Rasulullah saw pada 14 abad lalu. Setidaknya, Rasul melakukan tiga upaya konkret sebagai berikut. Pertama, beliau misalnya tercatat melakukan upaya penetapan daerah konservasi dengan menjadikan wilayah Naqi’ sebagai daerah konservasi. Kebijakan Nabi juga diikuti khalifah Umar dengan menjadikan Saraf dan Rabazah sebagai daerah konservasi. Gerakan konservasi ini perlu lebih kuat digemakan agar menjadi kebijakan mainstream dari pemerintah dan para pemangku kepentingan.
Kedua, upaya lain yang dilakukan Rasul adalah mendorong umatnya rajin menanam pohon. Mengapa perlu menanam pohon?  Setidaknya ada dua alasan penting: Pertama, pertimbangan manfaat seperti dinyatakan dalam Q.S.‘Abasa,80:24-32. Kedua, pertimbangan keindahan seperti disebut dalam Q.S, al-Naml, 27:60.
Ketiga, upaya terakhir tapi tidak kurang pentingnya adalah Rasul melarang umatnya melakukan pencemaran, khususnya terkait air bersih. Hadis Rasul yang terkenal, antara lain berbunyi: “Takutlah tiga hal yang menimbulkan laknat Tuhan, yaitu buang air besar di saluran air (sumber mata air), di tengah jalan dan di tempat orang-orang berteduh (HR. Abu Daud). Terkait air bersih, sangat penting direnungkan bahwa air bukanlah komoditas yang dapat dikembangkan atau diperbanyak. Jumlah air, khususnya air bersih sangat terbatas dan beberapa wilayah di bagian bumi ini sudah mulai kekurangan air.
Kesimpulan
Qur’an dan Sunnah Rasul memuat sejumlah pedoman pemeliharaan lingkungan yang dapat dipolakan pada tiga hal: Pedoman pemeliharaan lingkungan (Q.S al-A’raf, 7:55, al-Baqarah, 2: 205, al-Rum, 30:41, Saba, 34:27-28). Pedoman pemanfaatan lingkungan (Q.S al-Baqarah, 2:22, al-Anbiyaa, 21:30). Pedoman pencegahan bencana lingkungan (Q.S al-Baqarah, 2:11-12 dan 195 dan Ali Imran, 3:190-191).
Dengan menyimak semua pedoman yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an dan praktek yang dilakukan Rasulullah, sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa Islam adalah agama cinta lingkungan, agama yang sangat peduli pada upaya menjaga kelestarian alam dan kesehatan lingkungan demi kemashlahatan semua manusia, bahkan semua makhluk di alam semesta. Itulah makna atau spirit dari Islam rahmatan lil alamin, agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi sekalian alam.
Lalu, apa yang harus kita lakukan? Mulai sekarang dan dimulai dari diri sendiri mari bersama berkomitmen melakukan hal-hal berikut: Pertama, gunakanlah selalu barang-barang dan jasa yang ramah lingkungan. Kedua, berlaku hematlah dalam segala hal, terutama terkait penggunaan air bersih dan energi yang tak terbarukan. Ketiga, pilihlah transportasi yang rendah emisi gas. Berharap agar penggunaan kendaraan pribadi dan transportasi publik yang menggunakan listrik menjadi semakin masif.  Keempat, jangan menggunakan gelas, botol dan kantong plastik. Plastik itu sendiri bukan masalah, tapi cara kita menggunakannya yang tidak terkontrol. Limbah plastik sangat berbahaya bagi planet ini karena plastik tidak dapat mengalami biodegradasi, sulit untuk hancur dan merusak lingkungan. Kelima, gunakanlah produk organik. Makanan organik bebas dari pestisida, pupuk kimia,  tidak mengandung organisme transgenik dan seterusnya. Keenam, buanglah sampah pada tempatnya dan biasakanlah memilah-milah sampah sebelum dibuang. Jangan mencemari sungai, danau dan laut. Ketujuh, rajinlah menanam pohon. Jangan biarkan suatu lahan kosong dan gundul tanpa manfaat. Paling tidak, usahakan pekarangan rumah menjadi lahan hijau oleh berbagai tanaman. Hadis Nabi berikut perlu menginspirasi kita semua: Barang siapa memiliki lahan hendaklah ia tanami, atau ia serahkan kepada orang lain untuk ditanami dan dimanfaatkan (HR. Bukhari). Kedelapan, biasakanlah pola hidup bersih sehat dan peduli pada kelestarian alam. Ketahuilah, perilaku kita hari ini sangat menentukan masa depan nasib anak-anak kita. Berpikirlan untuk menyelamatkan sesama.
Namun, yang paling penting adalah negara harus tegas membuat kebijakan publik dan peraturan perundang-undangan yang berpihak kuat pada upaya menjaga kelestarian alam dan kesehatan lingkungan. Semua peraturan yang bias kepentingan harus segera dihapus. Selain itu, negara juga harus tegas memberikan sanksi dan hukuman bagi mereka, khususnya para perusahaan yang merusak lingkungan dan mengeksploitasi alam.



Perempuan Dalam Pusaran Fundamentalisme Islam



Musdah Mulia





Pendahuluan
Fundamentalisme dan feminisme[1] adalah dua istilah yang tidak pernah seirama, bahkan terkesan bermusuhan. Sejumlah penelitian menyimpulkan, perempuan adalah korban pertama dan utama dalam gerakan fundamentalisme. Mengapa perempuan? Sebab, fundamentalisme melanggengkan nilai-nilai patriarki yang melihat perempuan sekedar obyek. Itulah mengapa dalam fundamentalisme agama, khususnya Islam, perempuan diposisikan sebagai simbol kemurnian agama. Tidak heran, jika perempuan selalu menjadi obyek utama dalam upaya-upaya permunian Islam.
Dalam sejarah perkembangan agama-agama, sebutan fundamentalisme tumbuh sebagai reaksi atas munculnya berbagai aliran keagamaan yang sifatnya progresif dan liberal. Fundamentalisme mengklaim diri sebagai pemegang otoritas untuk memurnikan agama yang dianggap telah dinodai oleh kaum progresif dan liberal.[2] Fatalnya, yang mereka maksudkan dengan pemurnian agama adalah kembali kepada pemahaman tekstual dan rigid teks-teks suci agama. Mereka mengabaikan pemahaman kontekstual yang justru menyimpan pesan-pesan moral agama yang biasanya selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Bagi kalangan fundamentalisme, istilah memurnikan agama selalu dimaknai sebagai mengembalikan perempuan kepada fungsi domestiknya atau domestifikasi perempuan. Dengan dalih pemurnian agama, perempuan tidak boleh beraktivitas di luar rumah, mereka dipulangkan ke ranah domestik dan dibatasi hak-haknya sebagai warga negara dan sebagai manusia merdeka. Ketika kelompok fundamentalisme Islam Taliban berkuasa di Afghanistan, perempuan ditarik dari ruang publik. Para perempuan yang tadinya berkarir sebagai dokter, hakim, guru, perawat, dan sebagainya dipaksa berhenti dari pekerjaan mereka.
Pertanyaan kritis muncul, mengapa harus perempuan?  Faktanya, sejumlah praktek pemurnian agama dengan menjadikan perempuan sebagai obyek utama mendulang kesuksesan sangat signifikan. Sebab, itulah cara paling mudah dan sekaligus paling murah, lagi pula paling sedikit resistensinya. Lihat saja ketika Aceh diberi kewenangan menegakkan syariat Islam. Program utama yang dinilai paling menonjol dan berhasil adalah mewajibkan perempuan berjilbab.
Gerakan fundamentalisme tidak menjadikan isu pendidikan sebagai program unggulan, padahal ayat pertama Alqur’an sangat vokal memberikan warning tentang pentingnya membaca. Tentu saja untuk mewujudkan pendidikan berkualitas, dibutuhkan kerja keras dan perjuangan panjang, sementara program mewajibkan jilbab, sangat mudah. Cukup dengan menerbitkan sehelai surat edaran, lalu memerintahkan polisi syariah menangkap para pembangkang. Tidak perlu kerja keras, tidak perlu perencanaan kerja yang rumit, bahkan para pejabat tidak perlu berkeringat. Bukan hanya itu, program yang menyasar tubuh perempuan biasanya tidak mendapatkan resistensi yang berarti. Mereka yang menolak tinggal dicap kafir atau liberal, titik.
Menjadikan tubuh perempuan sebagai senjata mematikan
Kelompok fundamentalisme Islam bukan hanya menjadikan perempuan sebagai obyek pemurnian agama, belakangan mereka juga menjadikan tubuh perempuan sebagai senjata mematikan untuk tujuan penegakan negara Islam, khilafah dan semacamnya. Bahkan, beberapa tahun terakhir keterlibatan perempuan dalam gerakan fundamentalisme Islam yang melahirkan aksi-aksi kekerasan ekstrimisme dan terorisme global terus meningkat. Di negara-negara seperti Jerman, Irlandia dan Italia di Eropa, Peru di Amerika Latin, juga di Gaza dan Tepi Barat di Wilayah Pendudukan Israel dan Palestina hingga Rusia dan Chechnya, Sri Lanka, India, Turki dan lainnya, termasuk yang paling belakangan di Irak dan Yordania tercatat menguatnya keterlibatan perempuan.[3]  
Pelibatan perempuan di dalam gerakan fundamentalisme semakin nyata. Perempuan menjalankan fungsi-fungsi beragam, di antaranya sebagai informan, kurir, mata-mata, pendidik, perekrut, menjadi pelindung manusia (human  shield), atau sekadar menjadi pemuas kebutuhan seks teroris laki-laki yang jelas tak bisa diabaikan. Sepanjang dua dekade terakhir, dengan makin dimanfaatkannya kemajuan teknologi bagi pencapaian tujuan-tujuan mereka, kaum perempuan juga turut mengelola penerbitan organisasi fundamentalisme di Internet. Bahkan, perempuan semakin meningkat perannya dalam aksi-aksi terorisme bunuh-diri. Tubuh mereka berubah menjadi senjata maut yang mengerikan.[4]
Menurut Bahrun Naim, pimpinan ISIS asal Indonesia, perlunya mengajak perempuan untuk ikut melakukan aksi teror karena semakin sedikit laki-laki bersedia menjadi teroris. Lebih jauh dia mengatakan: “kalau di Suriah aksi amaliyah tidak wajib dilakukan oleh perempuan, tapi di Indonesia, perempuan boleh melakukan aksi teror karena laki-laki lebih pengecut.” Hal itu terbaca dalam percakapan telegram pada Juni 2016. Faktor lain adalah karena perempuan dianggap lebih mudah dipengaruhi, terutama mereka yang memiliki masalah dalam keluarga.[5] Selain itu, kaum perempuan dianggap sangat loyal pada ajaran dan ideologi agama, lebih militan dalam menjalankan aksinya. Apalagi mereka yang pernah mengalami trauma, menjadi korban KDRT atau mengalami konflik dalam keluarga atau perceraian. Ketika dicuci otak dengan pemahaman radikal, para perempuan tersebut berubah menjadi jauh lebih militan dari laki-laki.
Sejumlah alasan mengemuka mengapa perempuan terlibat. Pertama, dibanding laki-laki, mereka biasanya lebih leluasa bergerak dan tidak terlalu dicurigai oleh aparat keamanan sehingga nilai keterlibatan mereka jauh lebih tinggi dibanding nilai keterlibatan laki-laki.[6]  Kedua, terlibatnya kaum perempuan sebagai pelaku bom bunuh-diri memiliki daya tarik tersendiri bagi media masa, terutama di era digital. Tidak heran jika laporan mengenai aksi-aksi teror yang dilakukan perempuan diberitakan lebih cepat dan juga lebih dramatis. Keterlibatan perempuan dalam gerakan fundamentalisme dengan aksi-aksi dramatis tersebut memperkuat makna perlawanan teroris sekaligus meningkatkan simpati kepada mereka.[7]
Ketiga, untuk lebih menggugah semangat laki-laki menjadi jihadis. Kalau perempuan saja bisa, laki-laki harusnya lebih bisa! Ungkapan tersebut memaksa laki-laki lebih berani, meski melanggengkan stereotipe yang berlaku.[8] Terakhir, bahkan dianggap sebagai upaya kesetaraan perempuan dan laki-laki, terlepas dari apakah perempuan sungguh menyadari motif dasar perbuatan mereka atau tidak. Sebab, sejumlah tulisan mengungkapkan berbagai bentuk manipulasi kelompok fundamentalisme terhadap perempuan, khususnya anak-anak perempuan.[9]
Perlu lebih jauh menyibak siapa gerangan para perempuan yang terlibat dalam gerakan teroris di Indonesia. Data tahun 2015-2016 mencatat lebih dari 250 deportan di Jakarta, separuhnya terdiri dari perempuan dan anak-anak, kebanyakan mereka berangkat sekeluarga. [10] Lalu, selama Januari-Maret 2017, jumlah deportan sudah mencapai lebih dari 140 orang, dan 79% perempuan dan anak-anak. Mereka ditampung di panti-panti yang disediakan Kementerian Sosial untuk diinterogasi. Umumnya, para perempuan yang terlibat gerakan tersebut adalah istri para teroris.[11]
Selain itu, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mencatat sampai Oktober 2016, jumlah narapidana terorisme sebanyak 223 orang dan sembilan perempuan dinyatakan terlibat dan semuanya adalah istri dari pelaku terorisme. Selanjutnya, Direktorat Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut 51 orang istri pelaku terorisme akan disertakan dalam program deradikalisasi.
Keterlibatan istri dalam gerakan terorisme di Indonesia pertama kali terlihat dalam kasus Dian Yulia Novi. Dian mengaku mengalami proses indoktrinasi jihad-qital melalui internet oleh suaminya, Nur Solihin, anak buah Bahrun Naim.[12] Kasus ini mengemuka karena pertama kalinya di Indonesia istri direkrut menjadi pelaku bom bunuh diri (suicide bomber). Berikutnya, kasus Santoso yang melibatkan tiga istri teroris ikut bergerilya di dalam hutan guna melakukan perlawanan. Para istri selain berperan membantu aksi-aksi kekerasan juga sekaligus memenuhi kebutuhan biologis para suami.[13] Beberapa penelitian menyebutkan, tugas lain para istri tersebut adalah menjadi perekrut ulung sekaligus sebagai sel propaganda gratis yang sangat aktif.
Sebelum fenomena pelibatan istri pelaku kejahatan terorisme di atas mengemuka, Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) dalam laporannya tahun 2016 melaporkan sembilan istri terlibat dalam kejahatan terorisme.[14] Enam di antaranya menjalani proses peradilan pidana dengan dakwaan kasus teror, dua orang lainnya menjalani hukuman karena melanggar UU Keimigrasian, sementara sisanya bebas karena tidak terbukti keterkaitannya. Sembilan perempuan tersebut adalah istri dari teroris yang menginginkan pendirian negara Islam. Studi PAKAR menggambarkan betapa istri dimanfaatkan sedemikian rupa oleh suami, seperti bekerja keras menyiapkan logistik untuk kelompok mereka sekaligus juga memenuhi kebutuhan suami.
Studi PAKAR juga menjelaskan, umumnya istri para teroris tersebut mengalami viktimisasi yang beragam: mulai dari proses penangkapan hingga bebas dari jeruji besi. Mereka teralienasi dari keluarga, terkucilkan dari masyarakat, rentan dan tidak mampu secara finansial. Mereka sulit mencari nafkah untuk keluarganya akibat pengucilan dan stigma sebagai status mantan napi atau bahkan “janda teroris”. Stigma dan label negatif tersebut membuat mereka tidak diterima secara luas dalam pergaulan sosial.
Peran perempuan dalam gerakan fundamentalisme dapat dipolakan menjadi tiga bentuk.[15] Pertama, sebagai pengikut dan pedamping setia suami. Peran perempuan sebagian besar masih pada tahap domestifikasi perempuan. Artinya, mereka bukanlah aktor utama melainkan hanya sebagai istri, pengikut setia, dan ibu dari calon-calon teroris.[16] Kedua, peran selaku ahli propaganda dan agen perekrutan. Sejumlah perempuan dalam gerakan terorisme, seperti ISIS tidak diperbolehkan ikut bertempur di lapangan, melainkan diberikan peran khusus di media sosial sebagai ahli propaganda, pendakwah, dan perekrut dengan menerapkan cara-cara rekruitmen yang mengandalkan hubungan pertemanan dan kekerabatan.[17] Ketiga, peran perempuan sebagai fighter atau bomber. Kelompok terorisme juga memanfaatkan perempuan terpelajar di negara-negara Barat, khususnya kulit putih sebagai pelaku bom bunuh diri. Pelibatan mereka penting untuk menghapus stereotip Barat tentang negara-negara Muslim sebagai sumber teroris.[18]
Mengapa perempuan tertarik?
Pada 22 September 2016 aparat keamanan Indonesia di Bandara Soekarno-Hatta berhasil menggagalkan tujuh warga negara Indonesia yang hendak berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS, salah satunya perempuan yang diduga kuat sebagai penyandang dana. Apa yang menarik perempuan sehingga berani mempertaruhkan nyawa?
Berbagai tulisan menjelaskan, setidaknya empat faktor mendorong mereka menjadi teroris.[19] Pertama, faktor religius. Kelompok fundamentalisme sangat gencar menyuarakan propaganda bahwa umat sedang diserang!, umat Islam sedang tertindas! Umat Islam harus bangkit melawan! Karena propaganda tersebut sejumlah perempuan di Inggris terpengaruh bergabung dengan ISIS. Mereka termotivasi secara agama untuk membela Islam dari musuh-musuh Tuhan yang mereka sebut thagut. Bagi perempuan adalah kesempatan emas menjadi bagian dari aksi bela Islam sekaligus menemukan tujuan hidup bermakna dalam “persaudaraan perempuan khalifah” (caliphate sisterhood).[20] Kedua, faktor ideologis. Para perempuan tertarik pada ideologi fundamentalisme karena sepintas terdengar kuat memperjuangkan keadilan.[21] Ketiga, faktor pribadi. Alasan bersifat pribadi terungkap dalam beberapa kasus, misalnya kasus Shannon Conley.[22] Buku Bride of ISIS menjelaskan sejumlah perempuan Eropa berhasil dihipnotis oleh ISIS melalui internet. Para perempuan tersebut dibujuk meninggalkan negaranya dan menjadi istri teroris. Sebagian lainnya dibujuk melakukan aksi-aksi teror di negara masing-masing.
Keempat, faktor politis. Kemiskinan, ketimpangan sosial, dan berbagai diskriminasi adalah narasi yang kerap disuarakan gerakan fundamentalisme. Dengan narasi yang memukau tersebut para perempuan kemudian memobilisasi segenap potensi mereka melakukan kekerasan politik (political violence) melawan negara dan kelompok yang tidak sealiran. Cara-cara radikal dan ekstrim yang dikembangkan kelompok fundamentalisme banyak menarik perempuan melakukan perlawanan terhadap negara. Dalam konteks Indonesia, kekalahan secara politik bagi kelompok keagamaan garis keras dalam beberapa tahun terakhir, mendorong menguatnya gerakan fundamentalisme. Narasi yang mereka gemakan adalah propaganda bahwa umat Islam dalam kondisi marjinal. Mereka menggunakan framing media bahwa pemerintah menindas kelompok Islam, pemerintah mengkriminalisasikan ulama dan seterusnya. Tidak heran jika sasaran tembak dari aksi-aksi mereka adalah simbol-simbol atau institusi negara.
Perempuan hanyalah korban
Meski perempuan berhasil berperan sebagai tokoh penting dalam gerakan fundamentalisme serta aksi-aksi kekerasan ekstrimisme dan terorisme, namun tidak sedikit tesis yang meyakinkan bahwa perempuan hanyalah korban, meski laki-laki teroris juga adalah korban indoktrinasi teologis berbasis kekerasan, namun perempuan mengalami tekanan berlapis karena posisi mereka yang umumnya masih subordinat laki-laki. Perempuan selalu berada dalam posisi sebagai korban setiap suatu masyarakat mengalami proses radikalisasi dan fundamentalisasi. Perempuan dalam agama apa pun selalu menjadi sasaran kontrol para penafsir fundamental yang sejatinya benci pada perempuan (mysogini).
Diskriminasi penafsiran, kata Karen Armstrong dimulai ketika sejarah agama dipisahkan dari sejarah dan raison de etre keyakinan individu pemeluknya. Pergulatan agama hanya dipahami sebagai interior journey daripada sebagai sebuah sejarah dan drama politik sehingga terkesanlah teologi sebagai ilmu eksklusif yang menghasilkan masyarakat agama yang tertutup. Tak ayal banyak konflik baik di tingkat global maupun nasional diakibatkan oleh teologi yang ekslusif. [23]
Perempuan menjadi sasaran fundamentalisme agama karena mereka merasa memiliki legitimasi agama untuk melakukan itu. Legitimasi agama didukung pula oleh nilai-nilai budaya dan norma hukum yang secara umum memang berwatak patriarkal.  Tidak mengherankan jika suatu masyarakat atau negara mengalami proses fundamentalisasi dan radikalisasi, domestifikasi perempuan biasanya menjadi program politik utama dan pertama.
Tidak banyak yang menyadari bahwa pandangan keagamaan kelompok fundamentalisme Islam membahayakan kelangsungan kehidupan perempuan. Mereka umumnya menolak prinsip keadilan dan kesetaraan gender, menolak pemenuhan hak asasi perempuan, menolak program KB dan semua unsurnya, seperti pengaturan jarak kelahiran anak dan penggunaan alat-alat kontrasepsi. Mereka juga menolak program imunisasi untuk kelangsungan hidup anak balita, menolak pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi sehingga para perempuan tidak mengerti hak-hak seksualitas dan kesehatan reproduksi, memberikan stigma terhadap penderita HIV/Aids dan kelompok Odha serta menganggap kutukan Tuhan, melakukan kekerasan terhadap kelompok LGBT, menghapuskan perlindungan terhadap perempuan korban perkosaan, perempuan pekerja seks komersial, dan tidak kurang bahayanya adalah mereka gencar mengkampanyekan slogan indahnya perkawinan dini dan perkawinan poligami. Akibatnya, jumlah kasus perkawinan anak dan poligami semakin meningkat.[24]
Masyarakat Muslim yang mempertahankan fundamentalisme memiliki kecenderungan memanipulasi dan memanfaatkan ajaran Islam untuk melegitimasi kekuasaan patriarki dan mengucilkan perempuan dari ruang publik. Apabila mengamati secara umum hak-hak sipil dan politik kaum perempuan di bawah berbagai rezim Islam di dunia ini, terlihat secara kasat mata bahwa mereka sungguh membelenggu hak-hak sipil dan politik kaum perempuan. Konstitusi Islam Iran tahun 1979 setelah kemenangan revolusi misalnya, walaupun tidak secara eksplisit menunjukkan subordinasi perempuan sebagai warganegara kelas dua, dalam aktualisasinya telah membatasi hak-hak sipil dan politik kaum perempuan di wilayah publik.[25]
Perempuan Sudan juga mengalami apa yang terjadi di Iran. Sudan dibawah rezim Omar Al-Bashir dan Hassan Al-Turabi adalah salah satu negara yang memarjinalkan perempuan. Berbagai wilayah pendidikan tingkat tinggi tidak dapat diakses perempuan. Penggunaan hijab merupakan kewajiban, bukan pilihan yang sadar. Perempuan tidak punya banyak kesempatan untuk bekerja di bidang pemerintahan.[26] Perempuan tidak bisa dengan leluasa bepergian ke tempat-tempat umum kecuali disertai muhrimnya yang nota bene harus laki-laki;  perempuan juga tidak punya akses ke pendidikan tinggi.[27] Dengan demikian, perempuan terpasung hak-haknya yang asasi sebagai warga negara penuh dan juga sebagai manusia merdeka.
Kondisi paling memprihatinkan adalah kaum perempuan Afghanistan masa pemerintahan kelompok fundamentalisme Islam Taliban. Seorang perempuan Afghanistan bernama Latifah bertutur sangat getir dalam bukunya berjudul Latifah: My Forbidden face. Dia menceritakan kekerasan psikologis yang ia alami dan juga diderita perempuan di bawah rezim Taliban.[28]
             Kaum fundamentalis Islam di Indonesia memaksa perempuan mengamalkan syariat Islam, dan yang dimaksudkan adalah syariat Islam yang ditafsirkan secara kaku dan sempit serta tidak rasional. Pemahaman Islam yang memenjarakan perempuan sehingga jauh dari pengalaman perempuan di masa Nabi Muhammad saw. Sangat disayangkan bahwa pemahaman syariat Islam yang kurang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan itulah yang diadopsi negara dalam berbagai peraturan dan kebijakan.[29] Di antaranya, UU Pornografi, berbagai  peraturan daerah (Perda), seperti Perda tentang kewajiban berjilbab; Perda larangan prostitusi dan sejumlah Qanun di Aceh: Qanun Khalwat dan kewajiban berjilbab. Pemahaman syariat Islam yang sempit itu pula yang kemudian digunakan dalam berbagai fatwa MUI mengenai perkawinan yang isinya mengandung sejumlah pasal diskriminatif terhadap perempuan.[30] Fatwa tersebut lahir karena MUI menganggap penting lembaga perkawinan sebagai salah satu institusi yang mengontrol kehidupan perempuan.
Perlunya interpretasi Islam yang humanis
           Islam hadir demi membebaskan manusia (perempuan dan laki-laki) dari semua sistem tiranik, despotik, dan totaliter menuju masyarakat sipil yang berkeadaban (civic and civilized society).Masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti keadilan, kejujuran, kebenaran, kemaslahatan, kesetaraan, keindahan dan kebersihan. Itulah tugas kenabian (prophetic task) yang diemban oleh Nabi Muhammad saw.[31]
          
            Tugas kenabian tersebut tidak berakhir dengan wafatnya Nabi saw, melainkan dibebankan ke pundak kita semua sebagai orang beriman, baik perempuan dan laki-laki. Untuk dapat melaksanakan tugas kenabian tersebut secara optimal, semua Muslim: laki-laki dan perempuan, perlu dibekali pengetahuan, ketrampilan dan kekuatan spiritual, dan untuk itulah agama Islam diturunkan. Islam secara terang-benderang menjelaskan bahwa manusia (perempuan dan laki-laki) memiliki posisi dan tugas sangat spesifik dan terhormat, yaitu menjadi khalifah fil ardh. Artinya, menjadi pemimpin atau pengelola kehidupan di bumi sebagai agen perubahan moral.[32]
            
             Dalam tata bahasa Arab, kata khalîfah tidak merujuk pada jenis kelamin, gender atau suku tertentu. Dengan demikian, semua manusia tanpa kecuali mempunyai fungsi sebagai khalifah dan akan mempertanggung-jawabkan tugas kekhalifahan itu kelak di hadapan Allah swt. Dalam konteks individual, tugas utama khalifah adalah mampu mengelola dan menata ucapan dan perilaku sehari-hari agar terbangun moralitas yang kuat (akhlaq al-karimah) demi mewujudkan kedamaian dan keselamatan diri sendiri, keluarga dan masyarakat sesuai dengan prinsip Islam.

            Dalam konteks sosial, tugas khalifah yang utama adalah amar ma’ruf nahy munkar, yaitu melakukan perbaikan moral masyarakat dengan aksi-aksi konkret dalam bentuk upaya transformasi dan humanisasi. Upaya transformasi mencakup semua upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, seperti pelatihan dan pendidikan serta berbagai kegiatan sosial yang mengarah kepada perbaikan dan peningkatan kualitas diri manusia menjadi lebih baik, lebih positif, produktif, dan konstruktif.

           Adapun upaya humanisasi mencakup semua kegiatan untuk memanusiakan manusia, seperti upaya penyebaran informasi dan publikasi, serta advokasi untuk mencerahkan masyarakat atau membela kelompok-kelompok yang mengalami penindasan dan perlakukan tidak adil. Misalnya, kelompok miskin, minoritas, perempuan dan anak, khususnya anak terlantar, kaum disabilitas, dan kaum Odha (penderita HIV/Aids). Termasuk pula di dalamnya upaya-upaya pelestarian lingkungan untuk menjaganya dari kepunahan dan kehancuran.

          Hanya satu kata kunci yang memungkinkan manusia (perempuan dan laki-laki) mampu menjalankan fungsinya sebagai khalîfah, yaitu ketakwaan, bukan keutamaan keturunan (nasab), bukan jenis kelamin, bukan jenis gender, bukan pula kemuliaan suku dan seterusnya. Sebagai manusia yang diberi amanah tugas kekhalifahan yang sama, laki-laki dan perempuan diperintahkan bekerja sama dalam misi amar ma’rûf nahy munkar. Terutama menegakkan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam seluruh bidang kehidupan, baik dalam ranah domestik maupun ranah publik. Kehadiran Islam dengan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan sangat menguntungkan kaum tertindas dan marjinal (mustadh’afin), khususnya kaum perem­puan.

Penutup
Fundamentalisme merupakan manifestasi paling nyata dari teologi ekslusif. Karena kebanyakan penafsirnya adalah laki-laki, maka tafsirnya memiliki kecenderungan untuk merendahkan perempuan. Tidak heran jika perempuan selalu berada dalam posisi korban setiap suatu masyarakat mengalami fundamentalisasi. Perempuan dalam agama apa pun selalu menjadi sasaran diskriminasi dan eksploitasi para penafsir fundamental yang benci pada perempuan (mysogini).
Masyarakat Muslim yang mempertahankan fundamentalisme memiliki kecenderungan memanipulasi dan memanfaatkan ajaran Islam untuk melegitimasi kekuasaan patriarki yang merendahkan perempuan. Slogan fundamentalisme untuk kembali memurnikan ajaran Islam selalu bermakna kembali kepada Islam tekstualis dengan karakter ideologis yang statis, ahistoris, sangat eksklusif, dan bias nilai-nilai patriaki. Kembali mendiskriminasikan perempuan seperti pada masa-masa kegelapan Jahiliyah. Bukan kembali ke visi otentik Islam yang cirinya adalah dinamis, kritis, rasional, inklusif, dan memuliakan perempuan.
Ringkasnya, fundamentalisme memproklamirkan politik anti feminisme, anti pluralisme, dan anti humanisme. Karena itu, pandangan fundamentalisme yang tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan sekaligus juga tidak ramah perempuan harus dieliminasi secara serius dan sistematik. Untuk tujuan ini maka negara dan seluruh elemen masyarakat sipil, terutama kalangan pemuka agama sangat perlu mendakwahkan secara luas interpretasi Islam yang humanis, yang esensinya mengedepankan kedamaian, kemashlahatan dan kesetaraan semua manusia tanpa kecuali. Tujuannya, tiada lain untuk memanusiakan perempuan, dan demi membangun masyarakat sipil yang adil dan beradab, dalam istilah Alqur’an disebut baldatun thayyibah wa rabbun ghafur.




Daftar Pustaka

Alvanou, Maria. 2007. Palestinian Women Suicide Bombers: The Interplaying Effects of Islam, Nationalism and Honor Culture. Working Papers Series No. 3. Tel Aviv, Israel: Strategic Research and Policy Center, National Defense College, IDF.

Bloom, Mia. 2005. Dying to Kill: The Allure of Suicide Terror. New York: Columbia University Press.

Charles Beitz. 1979. Political Theory and International Relations, Princeton: Princeton University Press.

Davis, Jessica. 2013. Evolution of the Global Jihad: Female Suicide Bombers in Iraq. Studies in Conflict & Terrorism 36: 279-291.

Grant Wardlaw, 1982.  Political Terrorism: Theory, Tactic, and Counter-Measures. Cambridge: Cambridge University Press.

Goldstein, Joshua S. 2003. War and Gender: How Gender Shapes the War System and Vice Versa. New York: Cambridge University Press.

Hafez, Mohammad M. 2016.  The Ties that Bind: How Terrorists Exploit Family Bonds, California, Naval : Postgraduate School Monterey.

Hafez, Mohammed M. 2007. Martyrdom Mythology in Iraq: How Jihadist Frame Suicide Terrorism in Videos and Biographies. Terrorism and Political Violence. pp. 95-115.

Hasani, Ismail and Naipospos, Bonar Tigor (Ed). 2005. Dari Radikalisme Menuju Terorisme. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara.
International Crisis Group. 2012. Indonesia: From Vigilantism to Terrorism in Cirebon. Asia Briefing No. 132, January 12.

Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC). 2017. From Mothers to Bombers: The Evolution of Indonesian Women Extremists. IPAC Report No. 35 (January 31).

Jacques, Karen & Paul J. Taylor. 2008. Male and Female Suicide Bombers: Different Sexes, Different Reasons? Studies in Conflict & Terrorism. pp. 304-326.

Jones, Sidney. 2015. Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia. Jakarta: PUSAD Paramadina. 

Kemoklidze, Nino. 2009. Victimization of Female Suicide Bombers: The Case of Chechnya. Caucasian Review of International Affairs. pp.181-188.

Knop, Katharina von. 2007. The Female Jihad: Al-Qaidas Women. Studies in Conflict and Terrorism. pp.397-414.

Laporan YLBHI, Laporan Yayasan LBH Indonesia Tentang: Terorisme dan Perppu No. 1 Tahun 2002

Lisa R. Wulan. 2010. Enhancing the Role of Women in Indonesia to Counter Terrorism. Asia Pacific Center for Security Studies.

Mahmood, Saba. 1998. Politics of Piety: The Islamic Revival and The Feminist Subject, Princeton: Princeton University Press.

Mayer, Ann Elizabeth. 1991. Islam and Human Rights: Tradition and Politics. Washington: West view Press.

Nacos. Brigitte L. 2005. Portrayal of Female Terrorists in the Media: Similar Framing Patterns in the News Coverage of Women in Politics and in Terrorism. Studies in Conflict & Terrorism. pp. 435-451.

Nolen, Elizabeth. 2016. Female Suicide Bombers: Coerced or Committed? Global Security Studies. pp.30-40.

ORourke, Lindsey. 2009. Whats Special about Female Suicide Terrorism? Security Studies18: 681-718.

Pape, Robert A. 2005. Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism. New York: Random House.

Paul, Amar. 2011.  Middle East Masculinity Studies: Discourses of” Men in Crisis,” Industries of Gender in Revolution, Journal of Middle East Women’s Studies, 7.3  36-70.

Prugl, Elisabeth. 2003. Gender and War: Causes, Constructions, and Critique. Perspective on Politics 1: 335-342.

Rohan Gunaratna and Karunya Jayasena. 2011. Global Support for al Qaeda and Osama bin Laden: an Increase or Decrease?,UNISCI Discussion Papers 25, 10-16.

Silaen, V. 2005. AS, Indonesia, dan Koalisi Global: Memerangi Jejaring Teroris Internasional, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 4 No. I September.

Subagyo, Agus. 2015. Teroris(me): Aktor & Isu Global Abad XXI, Bandung: Penerbit Alfabeta.

Wahid, Abdurrahman (ed.). 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute.

Zainal Abidin. 2016. Peran Kabupaten/Kota dalam Mengatasi Intoleransi, Radikalisme dan Ekstemisme Dengan Kekerasan. Naskah panduan Human Rights City-INFID.


Mass Media and Online

Anyadike, Obi. 2016. Coerced or committed? Boko Harams female suicide bombers. IRIN News & Analysis (April 19). http://www.irinnews.org/ analysis/2016/04/19/coerced-or-committed-boko-haram%E2%80%99s- female-suicide-bombers (December, 2016).

Arga Sumantri, ‘Survey: Intoleransi di Jakarta Mengkhawatirkan’, Metrotvnews,  March 23, 2017.

Arlina Arshad, Indonesian president Joko Widodo urges 'collective action' to fight violent extremism, The Strait Times, November 1, 2016 <http://www.straitstimes.com/asia/se-asia/indonesian-president-joko-widodo-urges- collective-action-to-fight-violent-extremism>. UN General Assembly, Plan of Action to Prevent Violent Extremism, December 24, 2015, A/70/67

Alvara Research Center. 2017. Potensi Radikalisme di kalangan Profesional Indonesia.

BBC Indonesia, ‘Jokowi: Ada Ideologi Tak Toleran yang Mengancam Indonesia’, BBCIndonesia. June 1, 2017 <http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-40116505>

Damanik, C (ed.) 2018, 5 Pelaku Ledakan Bom Mapolrestabes Surabaya merupakan Satu Keluarga, Kompas.com, May, 14 2018,
 https://regional.kompas.com/read/2018/05/14/12421961/5-pelaku-ledakan-bom-mapolrestabes-surabaya-merupakan-satu-keluarga

Family of Woman Killed in Paris Attacks Raid File Murder Complaint. www. france24.com (January 21, 2016). http://www.france24.com/en/20160121- france-family-woman-killed-paris-attacks-raid-file-murder-complaint (May 20, 2017).

Mubarak, Z. 2012, Fenomena Terorisme di Indonesia: Kajian Aspek Teologi, Ideologi, dan Gerakan. Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, Malang (http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/view/1633)

Mulia, Musdah. 2018. Perempuan dalam Gerakan Terorisme di Indonesia. Akademi IlmuPengetahuanIndonesia,(https:www.aipi.or.id/admin/assets/pdf/pdf_file/14052018_Perempuan_Dalam_Gerakan_Terorisme_di_Indonesia_MusdahMulia.pdf)

Muniroh, SM. 2012. Perempuan di Balik Kajian Teroris: Kajian Religiositas, Penyesuaian diri dan Pola Relasi Suami Istri tersangka Teroris di Kota Pekalongan, Conference Proceeding Annual International Conference on Islamic Studies (12 AICIS), Surabaya, 2422 – 2445

PPIM Research Center. 2017. Api Dalam Sekam; Keberagamaan Muslim Gen-Z. p. 8


Teguh Firmansyah, ‘Wapres: Indonesia Alami Radikalisme Global’, Republika, 23 Desember 2016

YS, ‘Survey Wahid Foundation: 86 Aktivis Rohis Ingin Berjihad’, Berita Satu, 17 Februari 2017

https://tirto.id/benarkah-intoleransi-antar-umat-beragama-meningkat-cEPz (July 19, 2018). http://setara-institute.org/category/publikasi/indeks-ham/




https://www.bnpt.go.id/kepala-bnpt-bentengi-perempuan-dari-ancaman-terorisme.html.





2018).




[1]Istilah feminisme mulai dikenal di Barat sejak tahun 1890-an. Pada prinsipnya gerakan ini memperjuangkan persamaan hak antar manusia, tanpa membedakan jenis kelamin mereka. Persamaan hak perlu dalam upaya menegakkan keadilan bagi semua manusia. Lihat Valerie Bervson. 1992. Feminist Political Theory an Introduction, MacMillan, London,  h. 107.
[2]Houtart, Francois. 1997. The Cult of Violence in the Name of Religion: A Panorama, dalam Concilium 4, h. 3.
[3] Knop, Katharina von. 2007. The Female Jihad: Al-Qaidas Women. Studies in Conflict and Terrorism, h. 397-414.
[4]Alvanou, Maria. 2007. Palestinian Women Suicide Bombers: The Interplaying Effects of Islam, Nationalism and Honor Culture. Working Papers Series No. 3. Tel Aviv, Israel: Strategic Research and Policy Center, National Defense College, IDF.
[6] Bloom, Mia. 2005. Dying to Kill: The Allure of Suicide Terror.  New York: Columbia University Press, h. 1-21.
[7] Nacos. Brigitte L. 2005. Portrayal of Female Terrorists in the Media: Similar Framing Patterns in the News Coverage of Women in Politics and in Terrorism. Studies in Conflict & Terrorism. h. 435-451.
[8] Uraian lengkap tentang hal ini lihat Goldstein, Joshua S. 2003. War and Gender: How Gender Shapes the War System and Vice Versa. New York: Cambridge University Press.
[9] Nacos. Brigitte L. h. 435-451.
[10]Mohd Adhe Bhakti, Perempuan dan Terorisme, 08 Februari 2016, dalam laman http://www.radicalismstudies.org/home/2015-04-19-13-02-08/special-reports-and-analysis/270-perempuan-dan-terorisme.html.
[11] Siroj, S. A. (2017, 1 6). Perempuan dan Terorisme. Diambil kembali dari Kompas.com: http://nasional.kompas.com/read/2017/01/06/12565011/perempuan.dan.terorisme
[12] Jordan, R. (2016, 12 12). Ini Wajah 2 Terduga Teroris yang Antar Bom ke Calon 'Pengantin' Dian. Dipetik 4 6, 2017, dari detik.com: http://news.detik.com/berita/d-3369122/ini-wajah-2-terduga-teroris-yang-antar-bom-ke-calon-pengantin-dian
[13] Dariyanto, E. (2016, 4 5). Santoso Pernah Perintahkan Pengikutnya Cari Pil KB dan Pembalut Wanita. Dipetik 1 12, 2017, dari detik.com: http://news.detik.com/berita/3179840/santoso-pernah-perintahkan-pengikutnya-cari-pil-kb-dan-pembalut-wanita
[14] Bhakti, M. A. (2016, Februari 8). Perempuan dan Terorisme. Dipetik Oktober 21, 2016, dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi: http://www.radicalismstudies.org/home/2015-04-19-13-02-08/special-reports-and-analysis/270-perempuan-dan-terorisme.html
[15] Debbie Affianty. 2017. Perempuan dalam Kelompok Jihadis dan Terorisme, dalam Muhammad Abdullah Darraz (Ed), Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme, Jakarta: Mizan Pustaka, h.  341-342.
[16]Sejumlah media, termasuk beberapa media mainstream menyebut pelaku teror dengan sebutan jihadis. Menurut saya penyebutan itu keliru karena istilah jihadis mengandung makna sangat positif. Sedangkan mereka yang melakukan aksi teror adalah penjahat, bukan jihadis.
[17] Laura Huey dan Eric Witner, Exploring a New Role for Women in Terrorism, dalam Journal of Terorism Research, Vol. 7, Issue 1 - January 2016..
[18]Baca, “Dian Yulia, Wanita Indonesia Pertama Divonis Kasus Teroris”, dalam laman https://www.viva.co.id/berita/nasional/951622-dian-yulia-wanita-indonesia-pertama-divonis-kasus-teroris.
[19] Debbie Affianty, Perempuan dalam Kelompok Jihadis dan Terorisme, h. 346-348.
[20] Ulasan lebih luas tentang hal ini dapat disimak dalam Elizabeth Poole, Reporting Islam: Media Representations of British Muslims, I.B.Tauris. Publisher: New York City: I.B.Tauris & Co Ltd, 2002.
[21]Lihat 'Jihad Jane' Colleen LaRose gets 10 years in prison, dalam laman http://www.bbc.com/news/world-us-canada-25630399. Baca juga, “‘Jihad Jane’ Colleen LaRose Became a Terrorist for Love”, dalam laman https://www.nbcnews.com/news/investigations/jihad-jane-colleen-larose-became-terrorist-love-n284636.
[22] Anne Speckhard. 2015. Bride of ISIS: One Young Woman’s Path into Homegrown Terrorism, Advances Press, LLC Mc Lean, VA.
[23]Karen Armstrong. 2003. Sejarah Tuhan, Bandung: Mizan, Cetakan IV,  h. 23-25.
[24] Uraian yang luas mengenai hal ini lihat Musdah Mulia. 2015. Mengupas Seksualitas: Mengerti Arti, Fungsi dan Problematika Seksual Manusia Era Kita, Opus, Jakarta
[25] Ann Elizabeth Mayer. 1991. Islam and Human Rights: Tradition and Politics, Washington: Westview Press Washington, h. 130-131.
[26] Saiful Mujani. 2003. Syari’at Islam dalam Perdebatan, dalam Syari’at Islam: Pandangan Muslim Liberal  Publikasi Jaringan Islam Liberal, Jakarta, h. 35.
[27] Abdullahi Ahmed an-Naim. 1997. Dekonstruksi  Syari`ah (terjemahan), Yogjakarta,  LKiS, h. 79-80.
[28] Latifah. 2001. Latifah: My Forbidden Faces: Growing Up Under the Taliban: A Young Woman Story. Talk Miramax Books, New York, h. 83.
[29] Uraian yang luas mengenai ini lihat Musdah Mulia. 2011. Muslimah Sejati: Menempuh Jalan Islami Meraih Ridha Ilahi, Marja, Bandung, h. 289-299.
[30] Lihat  fatwa MUI tentang Prosedur Pernikahan ( tahun 1996); fatwa tentang Pengucapan Sighat Ta`liq Talaq Pada Waktu Upacara Akad Nikah (1996); fatwa tentang Perkawinan Beda Agama (1980); fatwa tentang Nikah Mut`ah (1997); fatwa tentang Talak Tiga Sekaligus  (1981); dan fatwa tentang Iddah Wafat (1981). Penjelasan tentang fatwa secara luas lihat Musdah Mulia. 2004. Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Mizan, Bandung, h. 124-148.
[31] Musdah Mulia. 2014. Kemuliaan Perempuan Dalam Islam, Kompas Gramedia, Jakarta, h. 6-7.
[32] Lihat Q.S.  al-Baqarah, 2:30